عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ،
يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ
بِالسَّلَامِ))
“Dari Abî
Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
‘bersabda; ‘Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari
tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu
berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan
salam’. “(HR. Muslim, Hadits No. 2560)
Dalam
riwayat yang lain memakai redaksi seperti yang penulis garasbawahi di bawah
ini:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ ،
يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي
يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ ))
“Dari Abî
Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda;
‘Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu
berpaling. Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan
salam’.(HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba’în
al-Nawawiyyah, hal.289 )
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ»
“Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: ‘Tidak halal bagi seorang mukmin mendiamkan saudaranya melebihi
tiga hari’.”(HR. Muslim, Hadits No. 2561).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا هِجْرَةَ
بَعْدَ ثَلَاثٍ»
“Dari Abi
Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‘Tidak ada (di perkenankan) mendiamkan melebihi tiga (hari)’.”(HR. Muslim,
Hadits No.2562).
Sebenarnya
masih terdapat hadits-hadits lain yang belum disebutkan disini. Namun penulis
menganggap, hadits-hadits diatas sudah cukub untuk menjelaskan esensi dari
hadits-hadits tersebut bahwa, manusia di haramkan saling mendiamkan antara satu
sama lainya melebihi tiga hari. Jika Anda berkenan, silahkan buka
kitab Shahîh Muslim danShahîh Bukhari sesuai No. hadist yang
telah penulis sertakan pada hadits-hadits diatas, atau kitab-kitab lainya—kalau
perlu, syarahnya sekalian—disana Anda akan mendapati hadits-hadits lainya yang
esensinya tak jauh berbeda dari hadits-hadit yang penulis sebutkan diatas.
Dalam
kitab Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah, hal.289 di sebutkan
bahwa, maksud dari hadits-hadits diatas adalah yang di kehendaki dari larangan
“Lâ tadâbaru (jangan saling menjauhi)” yang terdapat dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
: لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ
يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً .
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ
وَلاَ يَحْقِرُهُ . التَّقْوَى هَهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ – بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ،
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ))
“Dari Abî
Hurairah RA. Dia berkata, “Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda;
“Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling
menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan
jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu
saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya,
mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada
beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina
saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain,
demikian juga harta dan kehormatannya”. (HR. Muslim, Arba’în al-Nawawiy, Hadits
No.35)
Sebagaimana
di katakan dalam kitab Al-Wâfiy fi al-Syarh al-Arba’în
al-Nawawiyyah berikut ini;
”Makna
“La Tadâbur” adalah yang di kehendaki dari sabda Nabi shallallahu
alihi wasallam
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ،
يَلْتَقِيَانِ فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ
بِالسَّلَامِ »
“Dari
Abiy Ayûb al-Anshâriy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
‘bersabda; “Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
malam diamana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling.
Yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan
salam. ”(HR. Muslim, Hadits No. 2560).“{1}
Dalam hadits
yang diriwayatkan dari Abi Hurairah diatas terdapat redaksi yang berbunyi “Lâ
tadâbaru” yang dalam terjemahanya diartikan “Jangan saling menjauhi”. Kata ”Lâ
tadâbaru” tersebut bisa diartikan, “al mu’âdâh(saling bermusuhan)“ dan “al-muqâtha’ah (saling
memutus tali persaudaraan)“ ataupun saling memblakangi dan “al-Muhâjarah (saling
mendiamkan).{2}
Maksudnya,
hadits-hadits yang menjelaskan ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga
hari sebenarnya adalah contoh dari makna “lâ tadâbaru” tersebut. Atau dengan
kata lain, ketidakhalalan mendiamkan saudara melebihi tiga hari masuk dalam
otoritas larangan yang terdapat dalam redaksi “lâ tadâbaru” tersebut. Lebih
mudahnya jika di ilustrasikan kedalam bentuk pertanyaan: mengapa mendiamkan
saudara kita lebih dari tiga hari tidak di halalkan (tidak diperbolehkan)?,
jawabnya, karena perbuatan tersebut termasuk tindakan tadâbur yang
secara eksplisit telah di larang dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi
Hurairah, tepatnya pada redaksi “lâ tadâbaru” tersebut. Untuk
selanjutnya, ada beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits-hadits diatas
yang sekiranya penting untuk di catat dan diperhatikan. Karena ternyata, tidak
semua tindakan mendiamkan seseorang melebihi tiga hari di diharamkan.
Semisal mendiamkanya orang tua kepada anaknya karena bertujuan mendidik—mungkin
kita semua pernah mengalaminya. Dalam konteks seperti ini (bertujian mendidik)
orang tua diperbolehkan mendiamkan melebihi tiga hari.
Mendiamkan
Yang di Perbolehakn Melebihi Tiga Hari
Dalam
kitab Shahîh Muslim, hadits-hadits larangan saling mendiamkan ini
dimasukan kedalam bab, “ بَاب تَحْرِيمِ الهجرة فوق ثلاثة ايام بِلَا عُذْرٍ شَرْعِيٍّ (Bab Keharaman mendiamkan (saudara)
melebihi tiga hari tanpa alasan (yang di perbolehkan
menurut) syari’at)”. Dari tema bab ini–tepatnya pada redaksi yang
berbunyi, “tanpa alasan (yang di perbolehkan menurut) syari’at”)–sebenarnya
sudah dapat dipahami bahwa, yang diharamkan adalah saling mendiamkan yang
dilatar belakangi urusan duniawi. Sedang mendiamkan yang berlatar belakang
urusan agama telah mendapatkan legalitasnya dari syari’at sehingga
diperbolehkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Wâfiy Fi al Syarh
al-Arba’în al Nawawiyyah berikut ini:
“Tadâbur
(mendiamkan seseorang) yang melebihi tiga hari tersebut haram hukumnya jika
disebabkan urusan duniawi. Adapun mendiamkan seseorang karena Allah , maka
diperbolehkan melebihi tiga hari, yaitu ketika disebabkan urusan agama,
sebagaimana yang telah di jelaskan oleh al-Imam Ahmad. Argumentasinya adalah
kisah tiga orang yang tidak mengikuti perang tabûk, dan Nabi memperintahkan
untuk mendiamkan mereka selama limapuluh hari dengan tujuan mendidik mereka dan
karena takut kemunafikan menimpa mereka. Sebagaima diperbolehkanya mendiamkan
ahli bid’ah yang berat dan orang-orang yang mengajak kejahatan dan kesesatan.
Dan Imam al-Khithâbiy menuturkan, diperbolehkan mendiamkanya orang tua kepada
anaknya…karena bertujuan mendidiknya.” {3}
Klarifikasi
Sederhana Status Tiga Hari
Kemudian
hadits-hadits diatas memberikan pemahaman bahwa, mendiamkan tidak melebihi tiga
hari itu diperbolehkan. Karena redaksi hadits “lebih dari tiga
malam / hari” memang memiliki arti keterbalikan semacam itu, yakni,
jika hanya tiga hari / malam maka di berbolehakan. Pemahaman semacam ini, dalam
disiplin Ilmu Ushul Fikih di sebut dengan “mafhûm mukhâlafah”. Sebelum
melangkah terlalu jauh, terlebih dahulu penulis ingin melontarkan beberapa
pertanyaan terkait, yang pertama; apakah ulama telah sepakat bahwa,
saling mendiamkan yang tidak melebihi tiga hari di perbolehkan?. Yang kedua; Lalu
kenapa yang dihalalkan (diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari,
bukan empat atau lima hari?. Izinkan penulis untuk menjawab
pertanyaan yang kedua terlebih dahulu.
Sejauh
pencarian penulis kedalam kitab-kitab turats, penulis hanya menemukan beberapa
gelintir pendapat yang bisa digunakan menjawab pertanyaan “kenapa yang
dihalalkan (diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari, bukan empat
ataupun lima hari?. Itupun hanya berupa pendapat yang singkat dan
yang pijakanya tidak penulis temukan, sehingga seolah (walaupun mungkin
tidak) nampak sebatas asumsi semata—dan sebenarnya penulis sendiri kurang
sepakat dengan pendapat ini karena penulis memiliki pijakan lain yang justru
bertolak belakan dengan pendapat ini. Namun penulis tidak mengatakan bahwa,
pendapat tersebut hanya berlandaskan asumsi dari empunya yang sudah jelas
termasuk dari jajaran ulama besar. Namun barangkali, karena keterbatasan
penulis dan referensinya sehingga tidak mampu melacak pijakanya secara utuh.
Namun seandainya ada pijakanya-pun belum tentu penulis akan sepakat kerena
penulis memiliki pijakan tersendiri yang cenderung bertentangan dengan pendapat
mereka.
Dalam
kitab Marqâh al-Mafâtîh Syarkh Misykâh al-Mashâbîh, karya Syaikh
‘Ali bin (Sultan) Muhammad, Abu al-Hasan Nûruddîn al-Malâ al-Harawiy al-Qâriy
(wafat: 1014 H) di katakan;
قَالَ
الْخَطَّابِيُّ: رُخِّصَ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَغْضَبَ عَلَى أَخِيهِ ثَلَاثَ
لَيَالٍ لِقِلَّتِهِ، وَلَا يَجُوزُ فَوْقَهَا إِلَّا إِذَا كَانَ الْهِجْرَانُ
فِي حَقٍّ مِنْ
حُقُوقِ اللَّهِ
تَعَالَى، فَيَجُوزُ فَوْقَ ذَلِكَ
“Al-Khaththâbiy (Abu
Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrâhîm bin al-Khathâb, 931.M—998.M) mengatakan,
‘Diringankan (diperbolehkan) bagi seorang muslim marah terhadap saudaranya
dalam waktu tiga haridikarenakan sedikitnya waktu tiga hari tersebut. Dan tidak
diperbolehkan melebihi tiga hari kecuali mendiamkan kerena Allah, maka
diperbolehkan melebihi tiga hari’.”( Marqâh al-Mafâtîh Syarkh Misykâh
al-Mashâbîh, Juz 8, hal.3146, Dâr al-Fikr, Bairut, libanan, Maktabah Syâmilah
al-Ishdâr al-Awâl).
Dalam
pendapat tersebut al-Khaththâbiy memberikan alasan mengapa hanya tiga hari yang
diampuni (diperbolehkan) mendiamkan saudara, bukan empat
maupun lima hari. Menurut beliau, karena masa tiga hari tersebut
adalah masa yang sedikit sehingga diampuni. Melihat bahasa ulama yang
menggunakan redaksi “ufiya (diampuni)” mengindikasikan bahwa, pada
prinsipnya mendiamkan selama tiga hari-pun tidak diperbolehkan. Namun kemudian
diperbolehkan dalam masa tiga hari tersebut sebagai “rukhshah (keringanan)”,
karena manusia secara alami tercipta membawa sifat amarah yang kadang dia tidak
bisa mengelak darinya. Dan juga karena masa tiga hari tersebut (menurut
al-Khaththâbiy) tergolong sedikit sehingga wajar jika diampuni.
Sebagaimana
yang telah penulis katakan diatas bahwa, penulis kurang sependapat dengan apa
yang dikatakan oleh al-Khaththâbiy karena beberapa hal berikut: pertama; status
tiga hari yang beliau katakan sedikit, penulis tidak menemukan pijakanya
yang jelas, atas dasar apa beliu mengatakan bahwa tiga adalah sedikit?. Bahkan,
penulis menemukan pijakah—baik dalam disiplin Ilmu Nahwu maupun Fikih–yang
mengatakan bahwa, bilangan tiga termasuk bilangan yang banyak (sebagaimana yang
penulis jelaskan nanti). Dan andaikan ada pijakanya-pun penulis belum tentu
akan sepakat karena penulis memiliki pijakan tersendiri yang yang bertolak
belakang denganya. Kedua; ketika tiga dikatakan sedikit maka—menurut
penulis—juga belum mampu memecahkan pertanyaan, “kenapa yang dihalalkan
(diperbolehkan) mendiamkan hanya dalam waktu tiga hari, bukan empat
atau lima hari?, karena masih menimbulkan pertanyaan susulan, mengapa
yang diperbolehkan adalah yang sedikit, yaitu tiga hari? Kenapa yang banyak
tidak diperbolehkan?.
Penulis juga
telah mengecek secara langsung kesalah satu masterpiece-nya al-Khaththâbiy,
yaitu kitab Ma’âlim al-Sunan syaranya kitab Sunan Abî Dawûd yang
sudah jelas didalamnya diterangkan permasalah yang sedang kita perbincangkan
ini, yang beliau beri judul “باب فيمن يحجر اخاه المسلم.
(Bab menjelaskan seorang yang mendiamkan saudaranya yang muslim)”. Namun
lagi-lagi penulis tidak menemukan pijakanya yang jelas. Yang disebutkan disana
hanya kalimat singkat dan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam kitab Marqâh
al-Mafâtîh Syarkh Misykâh al-Mashâbîh diatas, yaitu hanya kalimat “فرخص له في مدة ثلاث لقلتها (diperbolehkan dalam masa tiga hari karena sedikitnya masa
tiga hari tersebut)” tidak lebih.{4}
Analisa
Sederhana Penulis Terkait Status Tiga Hari
Karena itu,
penulis memiliki padangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan
al-Khaththâbiy diatas terkait status tiga hari tersebut. Dan tentunya pandangan
penulis disini bukan dimaksudkan untuk menandingi pandangan al-Khaththâbiy
tersebut, kerena penulis sadar bahwa, penulis tidak ada apa-apanya jika di
bandingkan dengan al-Khaththâbiy yang notabene adalah ulama besar yang
tersohor. Namun pandangan penulis ini lebih dimaksudkan sebagai pandangan
seorang yang sedang belajar memecahkan sebuah problematika sesuai kemampuan
yang dimilikinya dan sebagai perangsang otak agar dapat selalu berfikir
progresif, tidak kaku dan membeku. Pandangan penulis tentang status tiga hari
tersebut akan penulis jelaskan setelah terlebih dahulu penulis menjawab
pertanyaan yang pertama diatas yang belum sempat terjawab, yaitu, apakah
ulama telah sepakat bahwa, saling mendiamkan yang tidak melebihi tiga hari di
perbolehkan?.
Untuk
menjawab pertanyaan ini penulis berusaha melacak kedalam kitab Syarh
Shahîh Muslim karya al-Imam al-Nawawiy, dan kitab-kitab lainyan semisal
kitab Al-Istidzkâr dan Ma’âlim al-Sunan dan lainya. Dan
teryata disana penulis menemukan beberapa perbedaan pendapat diantara ulama.
Sebagian mereka berpandangan bahwa, hukumnya haram saling mendiamkan melebihi
tiga hari, dan diperbolehkan dalam masa tiga hari. Mereka mengatakan;
“Mengapa
mendiamkan dalam masa tiga hari di maafkan (diperbolehkan)?, karena manusia
berkecenderungan alami untuk marah dan bertingkah laku buruk dan sesamanya.
Maka di ampuni (di perbolehkan) mendiamkan dalam masa tiga hari agar dalam masa
tiga hari tersebut ia dapat mengatasi kemarahanya itu.”{5}
Dalam
arti—sependek pemahaman penulis—masa tiga hari tersebut adalah sebentuk
kebijaksanaan ataupunrukhshah (keringanan){6} Tuhan untuk umat
manusia yang memang secara alami tak bisa terlepas dari yang namanya amarah.
Mau tidak mau disana memang ada situasi-kondisi yang kadang memaksa manusia
untuk marah dan saling mendiamkan, dan itu diluar kemampuan mereka untuk
menepisnya. Sehingga—barangkali–kurang bijaksana jika manusia dituntut untuk
melakukan hal yang mereka tidak mampu untuk melakukanya (dituntut menghilangkan
amarahnya seketika). Disinilah nampak kasih sayang Allah dan kebijaksanaan-Nya
terhadap manusia. Dalam masa tiga hari tersebut diharapkan manusia yang
tertimpa amarah dapat mempergunakan sebaik mungkin untuk mengobati kemarahan
tersebut. Karena sulit—bahkan mungkin mustahil—keumuman manusia yang marah
kemudian seketika itu langsung sembuh dari kemarahanya.
Mengapa Tiga
Hari?
Lalu mengapa
Allah membatasinya dengan tiga hari?. Ada apa sesungguhnya dengan
tiga hari tersebut?. Untuk saat ini penulis hanya bisa mengatakan bahwa, hanya
Allah yang mengetahui rahasia sesungguhnya dibalik penetapan status tiga hari
tersebut. Karena menurut hemat penulis, pertanyaan tersebut (mengapa Allah
membatasi dengan tiga hari) tak jauh beda dari pertanyaan; mengapa sholat
maghrib tiga rakaat bukan dua ataupun empat rakaat?, mengapa sholat shubuh
hanya dua rakaat sedang dhuhur dan ashar empat rakaat?, mengapa orang yang haji
diharuskan tawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali, bukan enam ataupun
delapan kali? Dan pertanyaan lainya yang jawabanya memang tak dapat dilogikakan
oleh manusia.
Dalam
artian, tidak semua entitas dalam ranah agama dapat dirasionalkan oleh otak
sederhana manusia. Bahkan, disana ada entitas yang tidak dapat dirasionalkan.
Dalam Fikih hal semacam itu biasa disebut dengan ma’kul (yang dapat
di logikakan) dan ghaira ma’kul (yang tidak dapat dilogikakan).
Karena itu, Islam, dalam memecahkan problematika manusia, menggunakan otoritas
wahyu dan akal sekaligus. Yang mana keduanya saling melengkapi dan memiliki
peranan masing-masing sesuai porsinya. Domain akal adalah hal-hal yang memang
dapat di jangkau oleh akal. Sedang ketika disana terdapat hal-hal yang sama
sekali tidak dapat dijangkau akal, maka wahyulah yang berperan didalamnya.
Contoh daripada hal-hal yang tidak dapat dilogikakan adalah bilangan rakaat
sholat diatas, yaitu kenapa sholat maghrib tiga rakaat, isya’ empat rakaat,
shubuh dua rakaat?. Jumlah bilangan tersebut tidak dapat dijawab oleh akal
pendek manusia, hanya Allah yang mengetahui rahasia dibalik bilangan rakaat
tersebut.{7} Conto lain adalah terkait dengan adanya siksa kubur, hari
kebangkitan dll. Sebagai manusia yang sadar diri akan kelemahan otaknya, maka
mau tidak mau harus mengakui dan mengimani entitas yang memang tidak dapat
dirasionalkan tersebut. Kita harus yakin bahwa, dibalik itu ada kebaikan untuk
manusia yang hanya Allah yang mengetahuinya. Menurut hemat penulis, hal-hal
yang seolah tidak rasional yang dikabarkan Allah adalah untuk menguji tingkat
kepercayaan manusia terhadap-Nya. Manusia yang beriman maka ia akan menirima
dan membenarkan-Nya–walaupun akalnya tidak dapat menerima dan
membenarkanya—tanpa harus protes terlebih dahulu.
Sampai
disini penulis ingin mengatakan–sependek penjelajahan penulis terhadap status
tiga hari tersebut–bahwa masa tiga hari yang telah di tetapkan Allah tersebut
masuk dalam ranah hal-hal yang ghairu ma’kûl (yang tidak dapat
dilogikakan) yang harus di terima dan di imani kebenaranya. Sedang untuk
alasan, mengapa tiga hari? sepenuhnya diserahkan kepada Allah Yang Maha Tau.
Kita telah yakin bahwa, Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui semua urusan
manusia, termasuk mengetahui psikologi manusia dikala amarah melanda. Sehingga
barangkali, waktu tiga hari tersebut memiliki hubungan dengan psikologi manusia
terkait dengan kemarahan tersebut. Mungkin psikologi keumuman manusia ketika
marah akan mereda dalam waktu tiga hari, sehingga ketika telah melebihi tiga
hari berarti telah keluar dari jalur kewajaran.
Tiga Hari
Adalah Banyak
Terlepas
dari itu, jika penulis dipaksa untuk menjawab dan melogikakan, mengapa tiga
hari?, Maka penulis akan berusaha untuk menjawabnya sesuai dengan kemampuan
penulis. Dan tentunya bisa benar dan bisa juga salah. Menurut penulis, masa
tiga hari yang didalamnya diperbolehkan mendiamkan adalah masa yang bijaksana.
Dalam artian, tidak sedikit namun juga tidak terlalu banyak, bahkan hanya
sebatas banyak. Mengapa penulis katakan bijaksana? Karena tiga hari
tersebut—menurut penulis—adalah bilangan yang menengah-nengahi antara sedikit
dan terlalu banyak. Allah, dengan memberikan waktu yang banyak (tiga hari)
berarti Dia telah bijaksana dan menampakan kasih saying-Nya. Namun Dia tidak
memberikan waktu terlalu banyak (melebihi tiga hari), karena terlalu banyak
adalah hal yang berlebihan yang terlarang. Dalam disiplin Ilmu Nahwu
(sintaksis)—terlepas dari ikhtilaf yang ada–bilangan tiga adalah batas awal
dikatakan banyak. Dalam artian, bilangan satu dan dua masih tergolong sedikit
dan bilangan tiga adalah bilangan banyak.{8} Sehingga—menurut penulis—yang
melebihi tiga (empat keatas) adalah lebih dari banyak.
Dalam Fikih,
salah satu penyebab batalnya sholat adalah melakukan pekerjaan yang
banyak (amal al-katsîr). Pekerjaan yang banyak ini dalam Fikh dibatasi dengan
tiga kali pekerjaan yang berturut-turut. Sesorang yang menggerakan kepalanya
dua kali maka sholatnya tidak batal karena tergolong pekerjaan yang sedikit,
seorang yang menggerakan kepalanya tiga kali maka sholatnya batal karena dia
telah melakukan pekerjaan yang tergolong banyak.{9} Jika
dikontekstualisasikan dalam konteks kelegalan mendiamkan selama tiga hari,
maka, masa tiga hari tersebut termasuk masa yang banyak atau katakanlah masa
yang lama. Artinya, Allah telah meberikan kesempatan yang banyak (lama) agar
manusia yang sedang tertimpa amarah dapat menyembuhkanya dalam masa tiga hari
tersebut. Sehingga, ketika tiga hari tersebut tidak ia pergunakan semaksimal
mungkin untuk menyembuhkan amarahnya itu—padahal itu masa yang lama–bahkan
berlarut-larut sampai empat atau lima hari bahkan bertahun-tahun,
berarti dia telah melakukan hal yang berlebihan atau melampaui batas. Karena
kesempatan tiga hari tersebut adalah kesempatan yang tergolong banyak (lama)
sehingga–menurut penulis—mendiamkan selama empat hari ataupun lima hari
adalah sudah melebihi batas dikatakan banyak, sehingga, seorang yang mendiamkan
melebihi tiga haripun bisa dikatakan berlebihan ataupun melampaui batas
kewajaran. Apalagi mendiamkan atau katakanlah saling bermusuhan adalah hal yang
sangat membahayakan. Dan telah jelas bahwa, setiap sesuatu yang melampai batas
adalah terlarang. Sabda Nabi:
إِ
يَّاكُمْ وَ الْغُلُو، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو
“Berhati-hatilah
kalian dari bersikap ghuluw (melampaui batas), karena sesungguhya celakanya
orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw.” (HR. Al Bukhari)
هَلَكَ
الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثً)
“Binasalah
orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”.
(HR. Muslim)
Barangkali
memang benar bahwa, lama dan tidaknya proses penyembuhan kemarahan tergantung
daripada tingkat kemaran tersebut. Seorang yang kemarahanya sangat akut mungkin
akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyembuhkanya. Namun jika kita
memiliki niat kuat dan mau berusaha semaksiamal mungkin untuk menyembuhkan
kemarahan tersebut, penulis yakin masa tiga hari lebih dari cukup. Ini bukan
hanya sekedar isapan jempol, namun karena penulis juga seorang manusia yang
sedikit banyak pernah mengalaminya sendiri. Terlepas dari itu, bilangan tiga
memang memiliki keistimewaan tersendiri. Tak sedikit hal-hal yang dibatasi
dengan bilangan tiga tersebut. Semisal dalam konteks seorang yang meninggalkan
sholat. Jika ada orang yang meninggalkan sholat maka langkah pertama harus di
lakukan adalah mengingatkan dan mengajaknya untuk melakukan sholat dan
memberikan peringatan kepadanya. Ketika dia telah diperingatkan dan diajak
melaksanakan sholat tetap saja tidak mau, maka dia boleh dibunuh. Namun ulama
memperbolehkan di bunuh setelah dia dipenjarakan terlebih dahulu sampai tiga
kali sebagai bentuk peringatan. Namun ketika telah dipenjarakan tiga kali dia
tetap enggan melakukanya, maka hukuman terakhirnya adalah dibunuh.{10} Dipenjarakan
terlebih dahulu sampai tiga kali adalah contoh konkret betapa bilangan tiga ini
memiliki arti tersendiri. Ketika telah diperingatkan dengan cara dipenjarakan
tiga kali (sebagai tenggang waktu agar ia bertobat) tetap tidak mempan—padahal
tiga kali termasuk banyak—berarti dia memang telah buta hatinya dan keterlaluan
dalam ingkarnya.
Dalam
konteks Izâlah al-Najasah (menghilangkan najis), ketika ada najis
yang warna dan rasanya sulit dihalangkan, maka sesuatu yang terkena najis
tersebut dihukumi suci—walaupun warna dan baunya masih tetap ada. Sedang
batasan dikatakan sulit dan tidaknya adalah, jika telah di basuh (dibersihkan
dengan air) tiga kali namun tetap saja warna dan bau najis tersebut tidak
hilang maka dikatagorikan sulit untuk dihilangkan, sehingga sesuatu yang
terkena najis tersebut dihukumi suci.{11} Disini nampak bahwa, bilangan
tiga adalah bilangan yang tergolong banyak. Agama tidak ingin memberatkan
hambanya dengan mengharuskan memnghilangkan warna dan bau najis tersebut dengan
membasuhnya berulang-ulang sampai melebihi tiga kali, karena berusaha
menghilangkan tiga kali merupakan usaha yang tergolong sudah banyak dan
telah maksimal. Seperti itulah bilangan tiga yang tidak sedikit dijadikan
standar dalam berhukum. Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain, namun
agaknya akan sangat berjubel jika penulis sebutkan semua dalam catatan mini
ini—dan barangkali justru akan membuat pembaca males untuk membacanya. Namun
pebulis yakin, suatu saat pembaca akan menemukan sendiri contoh-contoh bilangan
tiga yang digunakan sebagai setandar penetapan sesuatu dalam berhukum. Salah
satunya—menurut penulis—adalah masa tiga hari yang di dalamnya kita dimaafkan
mendiamkan. Masa tiga hari tersebut adalah kesempatan yang maksimal untuk
berusaha menghilangkan amarah. Sehingga ketika telah melebihi tiga hari, maka
dia telah melebihi batas maksimal yang telah Allah tetapkan. Ketika manusia
tidak dapat memanfaatkan waktu yang banyak tersebut, maka itu adalah kesalahan
manusia itu sendiri. Sedang Allah tidak dapat disalahkan ketika memberikan dosa
kepadanya karena Dia telah memberikan waktu yang maksimal untuknya.
Okelah
penulis sebutkan beberapa lagi contoh yang lain. Nabi, dalam menyampekan hadits
kadang juga mengulang-ulang sampai tiga kali agar para sahabat yang
mendengarkanya dapat memahaminya dengan baik dan menghafalnya. Samisal dalam
hadits diatas yang menjelaskan masalah ghuluw (melampaui batas) nabi
menyebutkanya tiga kali. Ini penulis sebutkan kembali haditsnya:
هَلَكَ
الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثاً)
“Binasalah
orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”.
(HR. Muslim)
Dalam hadits
yang lain Nabi juga mengulang-ulang perkataanya sampai tiga kali:
“di
riwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa suatu ketika Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam beserta Muadz bi Jabal berboncengan diatas pelana kuda, Nabi
berkata:”Hai Muadz bin Jabal”, Mu’adz berkata “sendiko dawuh (iya) wahai
Rasulullah…”;(sampai tiga kali Rasul mengulang-ulang panggilanya itu); lalu
beliau berkata “tiada seorangpun yang bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dengan tulus dari lubuk hatinya,
melainkan Allah akan mengharamkan dia masuk neraka”(HR Al-Bukhari); .
”Dar
sahabati Anas dari Nabi shollallahu’alaihi wasallam, bahwa Beliau ketika
berbicara dengan suatu kalimat maka Beliau mengulangnya sapai tiga kali sehingga
bisa di fahami. Dan ketika Beliau mendatangi suatu kaum maka Beliau mengucapkan
salam kepada mereka tiga kali”;. (HR. Al-Bukhari). {12}
“”Dari Abu
Hurairah RA. Dia berkata “Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda
“…Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh
menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada
di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). (HR. Muslim). Dalam hadits ini
Nabi menunjuk dadanya tiga kali.
Pertanyaanya,
mengapa Beliau Nabi mengulang tiga kali?, bukan dua atau empat kali?. Penulis
kira jawabanya tak jauh beda dengan jawaban status tiga hari yang didalamnya di
perbolehkan mendiamkan orang lain. Bahwa tiga kali adalah bilangan yang
bijaksana dan seimbang, tidak sedikit juga tidak terlalu banyak, bahkan hanya
sekedar banyak. Dikatakan bijaksana dikarenakan tidak sedikit namun juga tidak
terlalu banyak sehingga dikatakan berlebihan. Sekali lagi penulis katakan
bahwa, sebenarnya masih banyak contoh bilangan tiga yang di jadikan batasan
dalam berhukum. Namun untuk selanjutnya penulis serahkan kepada penbaca agar
mau kiranya mencari sendiri contoh-contoh tersebut. Namun penulis yakin, suatu
saat para pembaca dengan sendirinya akan menemukanya. Kemudian, sebagaimana
yang telah penulis katakan diatas bahwa, saling mendiamkan selama tiga hari
sebenarnya masih terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Pendapat yang
pertama telah penulis sebutkan diatas bahwa, yang di haramkan adalah mendiamkan
melebihi tiga hari, sedang untuk tiga harinya di maafkan (baca di perbolehkan).
Pendapat yang kedua berpandangan bahwa, hadits tentang larangan mendiamkan
seseorang melebihi tiga hari tidak memberikan pengertian bahwa, mendiamkan tiga
hari diperbolehka. Maksudnya, menurut mereka, baik mendiamkan satu hari, dua
hari, tiga hari ataupun selebihnya sama-sama tidak diperbolehkan. Pendapat yang
kedua ini adalah pendapat para ulama yang mengatakan mafhum mukhalafah tidak
bisa di jadikan argument. .{13}
EmoticonEmoticon